Kamis, 27 Maret 2014

GIVE COLOUR TO THE WALL OF TEBING


Give Colours To The Wall of Tebing | Tebing Tinggi, 30-31 Maret 2014

Badass Street Artist: SMANETWO (@myheavenspot) - RACK (@AnggaMaeswara) - MATIMUDA (@_matimuda) - ARONE (@Arayone) - AGONE (@AgonOne) - PRASE (@YudhaPelet)

Personal Interview Taring X Yerikho Iyeq

   Seperti biasa, pagi ini saya melakukan rutinitas pengangguran (cari wifi gratis) dan mulai memikirkan cara menghidupkan kembali blog ini yang sudah lama mati suri. Selang beberapan jam setelah menyeruput kopi hitam lalu eingeng muncul sebuah ide untuk menginterview teman (sebetulnya belum pernah saya jumpai) yang gosipnya kini sudah menjadi seniman di perantauan.
   Yah, sudahlah saya bosen basa-basi tentang kegiatan pengangguran. Simak percakapan asegedew saya dengan lae Yerikho Iyeq dibawah ini! :)





Hell-o bang, lae, asewewew, Inderskedoy, Asembrewe, Iyeq. Apa kabar nih?
   Baik-baik aja.. Tapi gusiku lagi sakit. Umur segini kemaren aku masih punya gigi susu satu lagi (beneran dan udah di check ke dokter) trus copot dan ini tumbuh untuk terakhir kalinya. Makanya bikin gusi bengkak. Aneh ya. Dokternya aja bilang aneh. hahahah.


Sejak kapan anda jatuh cinta dengan dunia visual art?
  Pertama kali jatuh cinta dengan visual art itu waktu TK di TK Fajar Medan. Dulu ada PR disuruh gambar bebas. Karena ga tau menggambar, aku minta Bapak yang gambarin. Mungkin karena kasihan liat anaknya, Bapak yang juga ga bisa gambar sama sekali mau ngebantuin tapi ya hasilnya lumayan kacau. Karena kesel, gambarnya aku hapus, aku gambar ulang sesuai yang aku mau. Tapi aku lupa gambar apa yang pertama kali aku gambar untuk menggantikan gambar tukang batu pendek bantet berhidung "Squidward" yang berdiri di atas bak truk beroda tiga dari Bapak. Setelah itu aku mulai suka gambar. Mungkin karena seru kaya bermain lilin-lilin kaya di sekolahku dulu yang bisa dikreasikan sesuka hati.

Apa gambar yang pertama kali anda buat?
   Aku lupa bener soal gambar pertama yang kubuat waktu TK itu. Tapi gambarku paling tua yang aku ingat itu ada di waktu kelas 5 SD karena mendapat pujian dari guru. Aku gambar 3 orang pria kurus", berpose layaknya boyband tangguh. Aku dapat nilai 9.5 tapi ada pesan dari Guruku "Kurus-kurus kaya pemakai narkoba". Dan karna gambar itu aku diikutkan lomba gambar yang disponsori Sosro dan Freshtea di Tanjungmorawa, Sumut. hahahah.

Menurut anda art itu apa?
   Sebenarnya aku juga ga tau seni itu apa. Tapi sepengalamanku ya seni itu segalanya. Mulai dari yang ada hingga yang tak ada. Klo diantara ada dan tidak ada itu ada, itu juga seni. Pokoknya segala hal itu seni. Yang tidak segalanya juga seni. Ga semua orang bisa melihat bahwa sesuatu itu seni, maka hadirlah seniman atau apalah namanya sebagai mediator. Kira-kira itu sih menurutku.

Karya seni siapa yang pertama anda beli dengan Uang anda sendiri?
   Belum ada. Tapi kemaren hampir membeli karya pencil sketch-nya Mas Robby Dwi Antono. Karena mungkin Mas Robby pengen menjalin pertemanan dan aku juga begitu, beliau minta ketemuan dulu. Tapi kita belum ketemu waktu yang bener-bener pas. Mungkin Mas Robby ga mau ngasih karyanya ke orang yang belum dikenal. Mungkin. Klo pun benar seperti itu, aku juga setuju dengan pendapat itu.

Rutinitas melatih otak yang tidak pernah anda tinggalkan?
   Rutinitas melatih otak? Mendengerkan musik. Satu hari aku bisa ndegerin banyak sekali judul lagu. Bisa sambil kerja, tiduran, di angkot dan lain-lain.

Nasihat apa yang anda telah ambil, namun tidak anda lakukan?
  Hemat pangkal kaya.

Tanggapan anda tentang nasionalisme & patriotisme?
  Aku sebenarnya ga ambil pusing dengan nasionalisme atau patriotisme. Mau mengayomi itu silahkan, mau tidak ya silahkan, asal masih pakai akal sehat dan masih memanusiakan manusia.

Menurut anda apa Indonesia benar-benar negara multikultur?
  Menurutku sih enggak ya. Indonesia mah mono. Semua kultur budaya Indonesia punya meme atau ide yang intinya ga jauh dari segitiga manusia-tuhan-alam: Berdamai dengan sesama manusia, berdamai dengan Tuhan (atau Yahwe atau Allah dll) dan berdamai dengan alam. Yang berbagai macam itu hanya "way" atau "how to say" atau caranya aja kok. Bisa jadi berbeda-beda ya namanya juga buah pikir manusia, beda kelamin aja beda pemikiran, apalagi beda geografis dan sebagainya.

Apa yang ada pikirkan ketika anda memikirkan Indonesia?
   Yang saya pikirkan pertama kali soal Indonesia adalah cebok pakai air sehabis berak. Hahaha. Ini serius. Mungkin cuma di Indonesia yang mempertahankan cebok pakai air sehabis berak. Dan aku setuju dengan itu. Diam diam aku sebenarnya mengagumi budaya barat kecuali cara mereka berak yang pakai tissue doank. Mengerikan.

Apa tanggapan anda tentang menjamurnya sifat konsumtif dan gagap budaya di kalangan remaja Indonesia?
   Sifat konsumtif dan gagap budaya? Bagus. Jadi kalo aku mau bisnis, bisa cepat laku.(Hehehehe)  Dan biarlah remaja-remaja itu gagap budaya. Karena pasti ada satu di setiap seratus orang yang peduli dan melestarikan budaya itu. Karena menurutku peduli budaya itu panggilan. Passion. Lagipula kalo setiap remaja menjalani budaya itu, apa uniknya lagi budaya itu? :)





Pesan untuk remaja Indonesia?
   Pesan untuk remaja Indonesia: "Ga malu apa masuk Mall trus liat banyak orang dengan gaya rambut yang sama dengamu (Hahahaha)?

Oke, last words?
   Last word: Semoga kita selamat sampai tujuan.

Yerikho Naektua

Twitter: @yerikhonaektua
Blog: http://yerikhonaektua.tumblr.com/
Facebook: https://www.facebook.com/yerikho.iyeq



-matimuda

Senin, 24 Maret 2014

NOBODY FOR PRESIDENT


Karena kita tidak butuh pemimpin yang merepetisi kebohongan demi kebohongan dalam ilusi demokrasi, dan tidak perlu melanjutkan gagalnya kemanusiaan demi sebuah kekuasaan.
Kita harus bisa hidup tanpa mereka. Berdampingan damai tanpa tiran, tanpa diperintah pemerintahan!
MARI GOLPUT!

Sebarkan, NOBODY FOR PRESIDENT!


sumber: Komunal Stensil

Minggu, 23 Maret 2014

MENJADI PUNK: MUSIK, GAYA PAKAIAN, PEMBERONTAKAN, DAN POLA PIKIR ITU BELUM CUKUP!!

Redaksi Noiseblastmedia  - Sebuah karya tulis yang manis hehe ... ya kami sebut manis karena penyuguhannya itu smooth, atau halus, dan enak dibaca. Kalau sang pembaca ini berada dipihak, maksudnya masuk dalam deskripsi Punks yang ditujukkan penulis disini mungkin akan menyenangkan atau menyegarkan hati diakhir kalimat artikel ini, dengan catatan kalau di membaca semuanya.

Tulisan dari penggiat scene bernama Khairul Anwar ini tulisan yang merujuk kepada sebuah sub-budaya yang mendekati kepada kehidupan nyata, dimana dengan ke-Punk-an individu-individu didalamnya bisa selaras berdampingan hidup dengan kondisi masyarakat akar rumput yang ada disekelilingnya (gak make sok Apatis, Sok Muak, Sok Nihilis sama hidup). Ya, kenapa juga mesti uring-uringan terus karena kamu merasa disingkirkan dari masyarakat ketika kamu menjadi Punk?? Bukannya itu Pilihan hidup kamu? atau Kamu yang mau jadi Punk? kalo kamu terus galau merasa terbuang, berarti kamu belom siap jadi punk ... ya udah tempatmu dilampu merah aja sana bersama teman-teman berdandan punk dan mengisolir/mengekslusifkan diri kamu bersama komunitasmu ... Kalau menurut kami Punk itu berarti perang. Perang disini bukan berarti angkat senjata terus bunuh-bunuhan. Perang disini bagaimana kamu bisa hidup ditengah masyarakat dalam kondisi tidak normal, maksudnya gini, dari 24 jam kamu hidup sehari, 50% atau bahkan mendekati 100% hidup kamu berlawanan dengan standar hidup normal dilingkunganmu tapi kamu lebih memakai gaya hidup punk yang gak terikat jam kerja ketika bekerja, sholat tapi bertato ampe ke pantat-pantat, dan lain sebagainya. Nah, andai kamu bisa diterima dan nyaman dengan masyarakat disekililing kamu, berarti kamu memenangnkan peperangan itu, ya sukur-sukur kalo justru gaya hidup kamu menjadi role mode di lingkungan kamu tersebut. Tapi jika kamu malah jatuhannya berkumpul dan menjadi ekslusif atau malah membenci masyarakat karena kegiatan kalian ustru terus dipertanyakan, berarti anda kalah.

Sungguh, ini Indonesia bung ... disini Punks bisa bertahan hidup bukan karena musik atau liriknya, bukan karena dandanannya yang compang camping, bukan karena nilai-nilai pola pikirnya yang kritis, bukan karena banyaknya koleksi merchandise atau kaset/cd, bukan karena kebersamaannya, bukan karena keberaniannya melawan arus, tapi dari bagaimana kalian (kaum Punks) menjelaskannya kepada masyarakat tentang apa yang kalian lakukan untuk bertahan hidup tanpa harus tergantung oleh sistematis yang menyengsarakan. Karena sesungguhnya apa yang ada dipemikiran Punks itu sendiri sudah ada dikalangan akar rumput masyarakat Nusantara ini sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, cuma terkubur oleh berjalannya waktu. Kehadiran punk bisa menjadi bentuk reinkarnasi dari apa yang namanya gotong royong, kerja bhakti, berdikari (berdiri dikaki sendiri) ... seperti yang terulas ditulisan berikut ini ... silahkan.

Musik Pemberontakan, dan Perubahan Sosial

oleh: M. Khoirul Anwar KH

Penulis sempat tersentak ketika pada akhir tahun 2011 lalu, pemerintah daerah Aceh men-sweeping komuntias-komunitas Punk yang tumbuh di semenanjung serambi Makkah itu. Keterkejutan ini bertambah perih oleh komentar Abdullah Ali, seorang Guru Besar yang berjuluk “sosiolog”di harian ini. “Anak punk lahir karena rendahnya cara berpikir, berpengetahuan dan beragama”, katanya (KC, Liputan Khusus, 23/02). Apa yang salah dengan pilihan hidup menjadi seorang Punk hingga harus digelandang dan dicaci layaknya pesakitan di meja hijau? 

Kilas balik
Ketika daratan Eropa telah mencapai puncak penemuan teknologi, sebagian penghuninya justru merasa gusar dan tersisih dari keberhasilan itu. Terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemelaratan. Seperti buruh pabrik, pekerja swasta amatir, dan karyawan perusahaan kecil. Apa sebab? Karena di balik semua kesuksesan besar itu, mereka harus dipaksa menjadi korban. Mereka merasa hak-hak dasarnya tidak dipenuhi oleh raja-raja era industri. Gaji di bawah standar, sistem kerja kontrak (Outscharcing), PHK, dan mekanisme kerja yang tak kenal waktu adalah diantara bukti kepincangan sistem para pemegang kendali abad industri kala itu.

Fenomena inilah yang akhirnya mendorong para pekerja, terutama yang muda-muda, untuk berontak. Awalnya bidikan mereka hanya terbatas kepada sistem tata sosial yang timpang. Lambat laun, semua wilayah kehidupan menjadi sasaran. Tidak hanya sistem pemerintahan, tapi semuanya: budaya, sosial, politik dan bahkan agama. Mereka tabrak semua hal yang pada saat itu dianggap tabu. Cara mereka berontak pun amat beragam. Dari mulai merombak tata busana, tata fisik, sampai tata pikir.

Tata busana bisa ditandai dengan kegemaran mereka untuk selalu menggunakan jeans ketat penuh sobekan, jas belel sarat tambalan dan sepatu boat mirip aparat. Fisik juga tak kalah garang. Rambut dipangkas ala mohawk dan skinhead (plontos), tindik dan tato menghiasi hampir sekujur organ tubuh. Tata pikir? Mereka umumnya menyukai sesuatu yang tak wajar. Bahkan bisa dikategorikan ekstrim dan anarkis. Sebab itu, kesukaan ini pun merambat ke organisme pikiran dan perilaku mereka.

Maka tak heran, setiap kali ditemukan sesuatu yang menurut mereka “negatif”, spontan mereka kritik dan lawan. Seringnya perlawanan itu diekspresikan lewat musik, saking terbatasnya media sosialisasi yang dipunyai. Terbukti, band-band semacam Sex Pistols, The Stooges,Dead Kennedys Rancid, Nazi Punk, The Exploited, pernah bertengger lama di jajaran musik dunia, meski tak sampai kaliber The Beatles atau Queen yang legendaris itu.

Ada musik maka ada juga atribut. Atribut membutuhkan slogan. Begitu juga slogan, selalu butuh akan tulisan. Maka jadilah mereka membuat tulisan-tulisan propagandanya di sembarang tempat (yang jelas tidak di papan reklame, sebab mereka sangat benci kapitalisme. Sponsor, iklan, perusahaan besar, menurut mereka adalah bagian dari sayap-sayap para kapitalis). Mulai dari sampul kaset, dinding-dinding swalayan, sekolah, tiang listrik, terminal dan stasiun. Pokoknya segala tempat yang biasa disinggahi masyarakat banyak. Tujuan mereka jelas, yakni agar suara pemberontakannya didengar dan direnungkan. 

Lebih dari itu, mereka juga ingin eksistensinya diakui, tidak terpojokkan. Dan, ternyata mereka berhasil. Kini hampir mayoritas masyarakat Eropa menerima mereka (beserta dengan semua kenyelenehan yang dibawanya) sebagai bagian dari warga semesta yang juga perlu diperhatikan nasibnya. Diberi ruang gerak yang luas, bila perlu difasilitasi, seperti yang belum lama ini dilakukan pemerintah Inggris. Mereka para pemberontak inilah yang dikemudian hari masyhur dengan sebutan kaum Punk/ers (secara harfiah bermakna: pemuda yang bodoh, tidak berpengalaman dan tidak berguna). 

Imitasi tanpa substansi
Lambat laun, gejala seperti di atas juga menular ke negeri ini. Memang, warga Indonesia begitu cepat tertular dan sangat hobi meniru, meski tak tahu asal usul dan tujuannya. Ini bisa dilihat, utamanya, ketika pada dasawarsa 80-90 an. Anak-anak muda, umumnya yang hidup di kota besar, secara patriotik mengimitasi gaya hidup ala kaum buruh Eropa itu. Membuat komunitas (baca: geng-gengan) sendiri, berpenampilan serta berperilaku urakan, senang menciptakan kerusuhan (baik antar sekolah, desa, atau sekedar antar geng), dan tak hirau pada tata atur sosial. 

Sayang, kebanyakan aksi mereka hanya berangkat dari luapan kenakalan remaja saja, yang selalu ingin tampil beda, semau gue, tanpa tahu arti serta arah dan tujuannya yang secara apik telah dicontohkan kaum buruh Eropa. Memang, itulah anak muda Indonesia. Itulah kita!Padahal, punk is not a fashion. Punk is the way of life (punk bukanlah tatabusana atau gaya. Punk adalah ideologi/jalan hidup).

Tapi tunggu, itu tahun 80-90 an. Sekarang? Tentu beda, meski tidak seberapa. Ini penulis buktikan sendiri dengan cara ikut melebur ke dalam dunia antah berantah khas anak-anak Punk “lokal”. Meski sejujurnya, hanya di beberapa komunitas saja penulis menemukan para Punkers yang benar-benar menjadi “reinkarnasi” paling representatif dari kaum buruh Eropa abad 19. Meski model dan intensitasnya jelas tidak sama. 

Sebab, seiring berderapnya zaman, jangan harap kita bisa menjumpai mereka “berdakwah” dengan pola lama seperti pendahulunya. Lewat coretan di dinding, misalnya. Karena mereka yakin, upaya demikian disamping amat primitif juga tidak lagi efektif. Banyak media lain yang lebih canggih dan mendidik yang bisa dimanfaatkan sekarang. Dari mulai membuat buku, hingga merancang jaringan berskala internasional via internet. Bahkan pertalian organisasi mereka diakui lebih tertata dari pada ormas kesohor semacam NU dan Muhammadiyah. Meski sudah maju sepesat ini, aktifitas dakwah khas tempo doeloe tidak semua ditiadakan. Sebab dalam beberapa hal, seperti membuat band sebagai media sosialisasi, juga masih dilakukan. 

Reinkarnasi sesungguhnya
Beberapa komunitas/band Punk itu diantaranya ialah Dispute dan Marjinal. Satu yang masih tersimpan lekat dalam hati, yaitu beberapa patah kata yang tersimpul dalam sampul kaset Dispute: “Banyak orang mengecam kami sebagai sampah. Sampah yang hanya mengotori wilayah sosial, budaya, ekonomi juga agama. Menurut mereka kami tak lebih dari sekedar beban. Padahal semua cap itu tak semua benar. Kami tetap manusia beragama, taat aturan sosial, turut berkontribusi dalam kreasi budaya, serta tak pernah turut menambah saldo utang negara. Hanya saja cara kami mengungkapkan itu semua memang sedikit berbeda dari masyarakat umumnya. Intinya, kami tetap cinta sepenuh hati terhadap negeri ini. Tapi kami benci dengan sistem yang ada”. Tidak dikira ujar ini meluncur dari mereka yang selama ini kita pandang sebelah mata, bukan? 

Ternyata ini tidak berhenti pada sekedar kata-kata, melainkan mereka buktikan dengan aksi nyata. Terbukti, selain menciptakan band, mereka juga membuka sendiri rumah produksi rekaman partikelir (indie label) dengan cara urunan. Ini sebagai tanda komitmen mereka untuk tetap independen dalam segala hal, tanpa harus bergantung pada siapa pun. Termasuk di dalamnya adalah dalam hal pengembangan karir diri. Jadi kredo “no future” (tanpa masa depan) jelas sudah tak relevan lagi disematkan pada komunitas ini. Mereka kini menggaungkan konsep D.I.Y: Do-it-yourself atau berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Sebab bagi mereka, Punk adalah merayakan potensi untuk melakukan apapun dengan kemampuan sendiri.

Tidak ada promotor, maneger atau pun sponsor. Mereka menggarapnya sendiri secara serentak bersama masing-masing kelompoknya. Sudah demikian, penjualan kaset pun (yang kadang hanya mampu menembus pasar distro) tidak masuk ke kantong masing-masing personil. Melainkan royalti kaset tersebut dikucurkan untuk kembali mengadakan festival musik, membuat selebaran propaganda-kritik, diskusi atau sekedar untuk slametan bersama. Bahkan komunitas Punk Muslim di Pulogadung, Jakarta Timur, selalu menggelar pengajian setiap malam selasa dan malam jumat. Isi pengajian itu tak melulu mendedah hal-ikhwal akhirat, tapi juga masalah keterampilan berwirausaha. Buktinya, saat ini komunitas mereka sudah punya warung makan bernama Warpunk dan kios pulsa bernama Punkcell.

Ini baru menyentuh aktivitas yang berkaitan antar kelompok atau individu kaum Punk sendiri. Bagaimana dengan aksi yang bersifat sosial? Apakah kelompok seindividualis mereka masih punya kepekaan terhadap problem sosial? Tak dinyana, ternyata mereka pun berkomitmen dalam hal pemulihan krisis sosial (terutama yang terkait dengan soal pengangguran). Salah satu dalilnya ialah, disamping mempunyai rumah produksi sendiri, mereka juga membuka kran-kran penghidupan lain sebagai pembelajaran kemandirian pada setiap anggotanya –dan sesekali masyarakat umum.

Diantara modusnya yaitu dengan bergerak pada bidang konveksi (sablon kaos dan distro), percetakan dan offset (undangan, stiker, spanduk, baliho, desain, atau buku hasil suntingan dari diskusi yang mereka gelar), hingga yang sekedar memproduksi aksesoris ala Punk. Seperti yang dilakukan band Marjinal setiap kali menggelar konser. Mereka tak hanya mendendangkan kritik sosial-politik, tapi juga memberikan kursus sablon dan cetak stiker gratis pasca-konser. 

Bahkan, “kita juga sangat aktif dalam kegiatan Karang Taruna dan kerja bakti halal bihalal dengan warga setempat. Ini adalah bentuk kepedulian kita dengan warga tempat di mana kita tinggal”, kata Dikta, jubir Marjinal. Ini mungkin yang begitu humanis dan menyentuh, mereka juga mempersiapkan kas khusus (dana sosial) untuk berjaga-jaga jika sesekali ada anggota atau famili anggotanya yang memiliki hajatan: mulai pernikahan, persalinan, sunatan, kecelakaan, dan bahkan kematian. 

Jika mau menelusuri lebih dalam, tentu masih banyak keunikan dan “kelebihan” dari komunitas ini. Seperti komunitas Raincity Hardcore Punk di Bogor misalnya. Komunitas Punk ini mendakwahkan diri mereka sebagai penganut ideologi straight edge. Ideologi ini pada intinya mengajarkan mereka untuk hidup vegetarian, menjauhi rokok, dan apalagi narkoba. Membaca ini, kita semua sadar, bahwa tidak semua komunitas Punk seperti yang Abdullah Ali pikirkan.

Akhir yang manis
Sungguh mereka tipe para pemberontak yang manis dijadikan cerminan! Musikalitas di tangan mereka sudah berhasil menjadi amunisi perubahan sosial yang ampuh, tak sekedar cuma menjadi lahan eksploitasi materi yang banal dan menjadi trend saat ini. Apalagi hanya sekedar menjadi luapan rasa cinta dan rindu khas anak muda yang kekenesan. Dari sini, musik menjadi arena hidup yang segar dan membebaskan, tanpa harus terjerumus dalam rambu-rambu kapitalisme pasar yang mencengkram, cinta dua anak manusia yang klise, atau tuntutan artifisial lainnya. 

Pantas saja jika I. Bambang Sugiharto, seorang guru besar filsafat UNPAD Bandung, menaruh keyakinan bahwa: kelak bangsa ini akan menjemput pencerahannya di saat kaum Punkers (bukan praktisi atau akademisi) telah menempati posisi dominan dalam stuktur sosial. Pendapat ini juga diamini oleh M. Soffa Ihsan, seorang intelektual muda yang menempuh jalan hidup sufi. Indonesia bakal berubah maju jika yang memegang kendali adalah kaum Punkers dan para sufi (bukan oleh ustadz atau kyai), katanya menambahkan secara berani. Nah!

Tak perlu melakukan riset apapun untuk membuktikan kebenaran pernyataan dua pakar di atas. Meski keduanya masih terkesan spekulatif dan sensasional. Biarlah sejarah yang akan menjawabnya. Bagaimana? Wallahu A’lam. 

sumber: http://www.noiseblast-media.tk/2014/03/menjadi-punk-musik-gaya-pakaian.html