"Kerusuhan dan keributan ini, V… Inikah anarki? ... Anarki berarti "tanpa pemimpin", bukan "tanpa peraturan". Bersama anarki datang masa ordnung, masa keteraturan sejati… dgn kata lain keteraturan secara sukarela. […] Ini bukan anarki, Eve. Ini kekacauan." (petikan percakapan V dengan Eve dari komik V for Vendetta, hlm. 195)
Anarki dan kekacauan, samakah? Ya bila kita lihat pemakaian kata "anarki" dalam bahasa sehari-hari. Tapi tidak bila kita melihatnya dari sejarah aliran pemikiran kritis.Buku Sean M. Sheehan, Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan (Marjin Kiri, 2007) berusaha mengupas sejarah anarkisme sebagai sebuah falsafah politik, dengan dampaknya yang meluas pada bidang kebudayaan dan kesenian.
Sebagai falsafah politik, anarkisme sering dianggap tidak serius dan diasosiasikan sebagai "kenakalan liar" belaka. Sebagian penyebabnya adalah karena anarkisme menolak konsep Negara tunggal atau tersentral, padahal "Negara berdaulat adalah sumber otoritas politik sebagaimana yang kita pahami. Sedemikian kuat konsep ini sampai sulit untuk membayangkan apa jadinya ilmu politik tanpa konsep Negara" (Anarkisme hlm. 23). Meskipun menentang Negara, anarkisme tidaklah menentang pemerintahan dalam arti "administrasi sistem politik". Anarkisme mendambakan pemerintahan swakelola yang dijalankan sukarela oleh warganya, bukan lewat paksaan aparatus hukum Negara yang kita kenal sekarang.
Proyek macam ini sering dibilang utopis, namun Sheehan mencontohkan komunitas-komunitas anarkis kuno maupun baru yang terbukti mampu menjalankan ideal macam ini, mulai dari komunitas Diggers di Inggris abad ke-17 sampai komunitas Zapatista di Meksiko yang melancarkan pemberontakan menjelang akhir abad ke-20. Sheehan juga merayakan kejayaan kubu Anarkis dalam memerangi pasukan Fasis dalam Perang Saudara Spanyol tahun 1930-an. Dalam perang inilah terbukti bahwa prinsip-prinsip anarkis mungkin diterapkan dalam penataan kehidupan politik modern. Revolusi anarkis ini terbukti berdampak positif pada kinerja perekonomian. Produksi pertanian Spanyol meningkat antara 1936 dan 1937 (hlm. 102). Sheehan menggugat, meski bukti-bukti ini berlimpah, "namun anehnya tidak dianggap sebagai argumen bahwa anarkisme itu mungkin diterapkan pada abad ke-21." (hlm. 49).
Dianaktirikan dalam lingkup ilmu sosial-politik, anarkisme justru memberi banyak pengaruh dalam kebudayaan dan kesenian. Musik punk misalnya, adalah anak kandung anarkisme. Sheehan memaparkan banyak contoh karya-karya sastra dan film yang mengangkat tema atau prinsip anarkisme dengan stereotipnya masing-masing. Sungguh kebetulan bahwa dalam waktu yang tak beda jauh terbit pula komik V for Vendetta (Gramedia, 2006) yang juga bisa dipakai sebagai contoh bagaimana anarkisme ditampilkan dalam budaya pop. Publik Indonesia mungkin lebih dahulu mengenal V for Vendetta di layar lebar.
Alkisah dalam komik ini, Inggris tahun 1997 dikuasai oleh kediktatoran fasis Takdir yang dipijakkan pada konspirasi militer, birokrat, dan rohaniawan, dengan dipadu oleh kemahakuasaan teknologi. Kebudayaan, kesenian, dan pemikiran pada umumnya diberangus. Rakyat hanya boleh mendengarkan siaran radio yang mengudarakan Suara Takdir. Kamera televisi siaran terbatas (CCTV) dipasang di tiap sudut jalan mengawasi gerak gerik masyarakat. Intel bertebaran di mana-mana. Kebebasan nol. Dalam kata-kata Sang Pemimpin: "Aku percaya pada persatuan. Dan jika kekuatan itu, kesamaan tujuan itu menuntut keseragaman pikiran, kata, dan perbuatan, itulah yang harus diterapkan." (Vendetta, hlm. 37).
Di tengah situasi represif inilah muncul tokoh V yang melancarkan serangkaian perlawanan dengan teknik-teknik anarkis. V adalah tokoh eksentrik yang memakai jubah dan topeng teater yang selalu tersenyum. Dulu ia pernah dijadikan kelinci percobaan medis di kamp konsentrasi, namun tak ada penjelasan bagaimana setelah lolos ia bisa merintis proyek perlawanannya. Yang jelas, di rumahnya berjajar karya-karya sastra, musik, dan film yang telah diberangus dari kehidupan publik. Dari sinilah ia menimba ilmu dan inspirasi tentang kebebasan.
V disebut anarkis karena dalam perlawanannya ia tidak berusaha menggulingkan rezim Takdir lalu menggantinya dengan "pemerintahannya" sendiri. Ia berusaha menyadarkan masyarakat bahwa ada kehidupan lain di luar hidup yang mereka alami sekarang ini. V cuma membuka jalan, hanya pemberontakan bersamalah yang bisa mengubah kehidupan. Hal pertama yang dilakukannya adalah meledakkan Gedung Parlemen. Rezim berusaha berdalih bahwa ini adalah "penghancuran disengaja untuk menghindari kemacetan." Kekuasaan yang hendak berlaku total dalam prakteknya justru mudah digoyang oleh hal-hal kecil, karena itulah V lalu menculik Komandan Lewis Prothero yang setiap harinya menjadi pengisi Suara Takdir di radio. Karena tak berhasil menemukan penggantinya, rezim pun siaran seadanya, dan "seluruh negara mendengarkan. Ada yang salah dengan Suara Takdir. Hal seremeh itu telah menebarkan bayangan gelap […] Segalanya tak lagi sama." (hlm. 36). Totalitas Negara mulai rontok.
Komik V for Vendetta adalah novel grafis serius yang sungguh memukau dalam cerita maupun visualnya. Sayang sekali penggarapan edisi Indonesia ini tidak sepadan dengan kualitas komik ini aslinya. Banyaknya salah penggal kata menunjukkan rendahnya kualitas proofreading, sementara penerjemahan beberapa kutipan yang merujuk pada karya-karya sastra "tinggi" tidak dilandasi pengetahuan memadai tentang kutipan tersebut, sehingga membuat tokoh V jadi kelihatan seperti tukang ngelantur yang tidak jelas apa yang dibicarakannya. Lihat kutipan puisi W.B. Yeats ini di hal. 196: "Berputar-putar di pusaran yang membesar, burung falcon tak dapat mendengar tuannya, segalanya hancur… inti tak dapat bertahan." Andai penerjemah mau sedikit teliti melacak puisi tersebut, tentu akan tahu bahwa puisi "The Second Coming" ini dipakai sebagai epigram pembuka mahakarya Chinua Achebe Things Fall Apart, yang telah diterjemahkan dengan sangat baik menjadi Segalanya Berantakan (Sinar Harapan, 1986): "Berputar-putar dalam putaran melebar/ elang pun tiada mendengar sang pemburu/ segalanya berantakan; pusat tak dapat bertahan/ hanya anarki kini melanda dunia."
Achebe memakai puisi Yeats sebagai alegori runtuhnya kolonialisme di Afrika, dan Moore mengutipnya di Vendetta sebagai alegori runtuhnya pusat kekuasaan fasisme Takdir--sesuatu yang tak tertangkap dalam terjemahannya di komik ini. Hal sama juga berlaku untuk kutipan soneta-soneta Shakespeare, yang tentunya akan jadi lebih baik bila penerjemah mau menengok terlebih dahulu hasil terjemahan Trisno Sumardjo.
Meski kedua buku ini menyegarkan, sebenarnya ini bukan pertama kalinya buku-buku anarkisme diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Setahu saya, dulu pernah beredar secara bawah tanah terjemahan karya tokoh-tokoh anarkis macam Rudolf Rocker dan Emma Goldman dalam bentuk stensilan. Namun inilah pertama kalinya buku tentang anarkisme digarap secara serius dan beredar di toko buku mainstream. Apakah dengan ini wacana anarkisme diharapkan bisa dengan bebas memasuki ruang publik tanpa disertai kecurigaan dan resistensi? Sepertinya itulah yang hendak disasar oleh penerbit Marjin Kiri, seperti bisa dibaca pada penjelasan mereka: "Apakah kita tengah berada dalam era kebangkitan anarkisme global sebagai respon terhadap neoliberalisme global? Hal ini penting untuk dikaji, karena setelah kapitalisme dan komunisme turut menanggung dosa sejarah yang besar, barangkali anarkisme kontemporerlah yang bisa menawarkan alternatifnya." (Anarkisme, hlm. i). Mengkaji anarkisme secara ilmiah dalam konteks neoliberalisme sekarang tentu saja menarik, meski ada beberapa soal yang masih bisa diperdebatkan. Benarkah gerakan-gerakan antineolib yang sering disebut sebagai "masyarakat sipil global" ini sama dengan "anarkisme global"? Tidakkah neoliberalisme yang bertujuan menciutkan seminimal mungkin peran Negara justru berbatasan tipis sekali dengan prinsip anarkis yang menolak Negara terpusat?
Banyak pertanyaan belum terjawab dari buku Sheehan, namun kehadirannya diharap bisa memberi masukan baru dalam pemikiran progresif di negeri ini. Ketika "kiri" disebut-sebut, asosiasinya diharap tidak lagi tertuju secara kaku pada "sosialisme" atau "komunisme" semata, namun juga "anarkisme" dan pelbagai varian pemikiran libertarian lainnya. Sheehan bahkan menggarisbawahi keberagaman spektrum politik kiri ini dengan menuliskan bahwa pihak yang paling banyak menghabisi gerakan anarkis justru bukan kaum kapitalis, melainkan Lenin dan Stalin yang komunis.
Tapi sebagai gagasan, anarkisme terbukti mustahil dihabisi. Dalam V for Vendetta tokoh V tanpa gentar menerjang peluru-peluru pistol sambil berkata ke penembaknya: "Kau hendak membunuhku? Tak ada darah atau daging di balik jubah ini yang dapat dibunuh. Hanya ada ide. Dan ide tahan peluru." (Vendetta, hlm. 236). Toh V tetap manusia dan mati juga kena peluru itu. Tapi Eve sang murid mengambilalih jubah dan topengnya untuk menjadi V baru. Sama seperti ketika Uni Soviet ambruk dan kapitalisme dirayakan sebagai pemenang tunggal, neo-anarkisme justru dengan cepat merebak di sekujur bumi: Chiapas, Seattle, Praha… Atau dalam kata-kata Eve yang sekarang menjelma V: "Mereka bilang anarki sudah mati, tapi lihat saja… berita kematianku dibesar-besarkan." (Vendetta, hlm. 258).
Diambil dari: Koran Tempo, 25 Februari 2007
Ditulis oleh: Donni Ramdani (pencinta buku, Jakarta)
Judul Aseli tulisan: Mempopulerkan Anarkisme
Download Komiknya (Pdf, mediafire): V de Vendetta - Alan Moore & David Lloyd - Comp.rar
Download Komiknya (Pdf, mediafire): V de Vendetta - Alan Moore & David Lloyd - Comp.rar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar